Paraben

Author dr. Gerry Tanzil;
Last updated on May 18, 2021

paraben


Disclaimer:

Keputusan untuk memakai produk mengandung paraben, maupun memilih produk paraben-free kembali ke pilihan masing-masing individu dan alasan yang mendasarinya. Artikel ini bertujuan untuk memberi wawasan tambahan pada pengguna potensial, sehingga dapat membuat informed-choice mengenai pengunaan zat paraben. Untuk pertanyaan lebih lanjut silahkan konsultasikan ke dokter umum, dokter estetik, atau dokter spesialis kulit & kelamin terdekat anda.


ZAT PENGAWET DALAM PRODUK KOSMETIK

Produk kosmetik dan farmasi seperti obat-obatan membutuhkan zat pengawet. Hal ini bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi kuman atau zat yang berbahaya pada pengguna, seperti bakteri atau jamur yang dapat meningkatkan risiko infeksi. Beberapa kuman yang dilaporkan sering berkembang biak pada produk tanpa pengawet antara lain bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli, serta beberapa jenis jamur yang dapat menimbulkan beragam penyakit. Penggunaan pengawet juga berguna untuk memperpanjang masa simpan produk & mengurangi biaya pabrik. 

MEKANISME KERJA PARABEN

Paraben adalah ester homolog dari p-hydroxybenzoic acid. Paraben bersifat kristalin, relatif stabil, dan tidak mudah menguap. Paraben adalah zat biosida yang memiliki cakupan luas, terutama terhadap jamur dan bakteri (baik gram negatif dan positif, namun lebih kuat terhadap gram positif). Sifat anti-mikroba paraben telah dibuktikan pada beberapa jenis kuman, antara lain Escirichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Aspergillus niger, Candida albicans, Staphylococcus spp, dsb. Paraben bekerja melalui beberapa cara:

  • Mengganggu proses kerja mitokondria pada kuman
  • Menganggu kerja enzim kuman
  • Menghambat sintesa DNA & RNA kuman
  • Menganggu proses transpor membran bakteri
  • Menghancurkan struktur lipid bilayer pada bakteri

KONTROVERSI PARABEN

Paraben merupakan zat pengawet yang digunakan dalam produk kosmetik, pembersih kulit, produk perawatan, obat-obatan, makanan, hingga produk-produk lainnya. Pada bagian kosmetik dan perawatan diri (personal care) hal ini dapat ditemukan tidak hanya pada produk make-up dan skin-care, tapi juga pada sabun, sampo, deodoran, pelembab, pewangi, dsb. 

Penggunaan paraben sebagai zat pengawet memiliki banyak keuntungan, seperti: tingkat toksisitas serta alergenisitas nya yang rendah, memiliki pH yang netral, tidak memiliki bau maupun rasa, tidak berwarna, serta harganya yang relatif murah. Paraben sudah digunakan selama lebih dari 80 tahun dalam berbagai industri, dan sudah ditetapkan aman oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat.

Akan tetapi dalam beberapa dekade terakhir, timbul banyak pihak yang mengklaim bahwa paraben tidak seharusnya digunakan. Alasan yang mendasarinya beragam, dari sifatnya yang tidak “alami”, menimbulkan efek samping seperti reaksi alergi, gangguan endokrin/hormonal, gangguan kesuburan, dampak buruk terhadap lingkungan, hingga risiko berbagai macam kanker. Hal ini membuat masyarakat seringkali mencari produk-produk yang bersifat “paraben-free”, tanpa informasi yang cukup mengenai paraben. Semakin banyak produk yang dipasarkan sebagai bebas paraben. Tapi apakah paraben tersebut benar berbahaya? Dan apakah klaim paraben-free dapat dipercaya?

JENIS-JENIS PARABEN

Terdapat kurang lebih 35 jenis struktur/turunan paraben yang telah ditemukan, beberapa contoh yang digunakan dalam produk kosmetik seperti:

  • Methylparaben 
  • Propylparaben
  • Butylparaben
  • Ethylparaben
  • Hydroxybenzoic acid
  • Isopropylparaben
  • Isobutylparaben
  • Sodium propylparaben
  • Potassium butylparaben
  • Undecylenoyl-peg 5-paraben
  • Dsb.

Jumlah zat paraben yang digunakan bergantung pada jenis paraben yang digunakan, serta MIC (minimum inhibitory concentration) yang dibutuhkan untuk target kuman. Dilaporkan juga adanya efek sinergistik dari kombinasi beberapa jenis paraben pada konsentrasi rendah. Dua jenis paling sering dikombinasikan dalam produk kosmetik dan kecantikan adalah methylparaben dan ethylparaben.

SUMBER PARABEN

Paraben sebenarnya dapat ditemukan tersebar di lingkungan sekitar kita (bersifat ubiquitous). Pada beberapa studi, paraben telah ditemukan di lingkungan sekitar rumah, danau dan sungai, tanah, hingga air yang kita gunakan (walaupun dalam jumlah yang sangat kecil). Walaupun paraben dalam produk komersil diproduksi secara sintetik, beberapa makhluk hidup juga dilaporkan menghasilkan paraben, seperti kuman Microbulbifer dan beberapa jenis tanaman (blueberry, wortel, zaitun, dsb.)

Berdasarkan data di AS, diperkirakan seorang individu memiliki paparan paraben rata-rata sebanyak 76mg per hari (atau hingga 1.3mg/kgBB/hari). 3 sumber utama paraben dalam industri modern adalah: (i) produk kosmetik, (ii) obat-obatan, dan (iii) produk makanan. Sekitar dua pertiga (50mg/hari) paparan paraben pada populasi berasal dari produk kosmetik, diikuti oleh obat-obatan (25mg/hari), dan makanan (1mg/hari). Walaupun begitu, perlu juga diingat bahwa penyerapan paraben melalui kulit lebih rendah daripada melalui saluran cerna. Berbagai studi telah melaporkan data produk yang mengandung zat paraben, serta persentase penggunaan paraben dalam tiap jenis produk; akan tetapi, data nya sangat bervariasi berdasarkan negara & data lokal setempat. Untuk di Indonesia saat ini data belum tersedia. Berikut kami lampirkan beberapa contoh produk yang telah dilaporkan mengandung paraben berdasarkan data statisktik global:

Produk kosmetik & personal care yang dilaporkan dapat mengandung paraben:

  • Produk eye-care: eye-liner, mascara, eye-shadow, dsb.
  • Produk wajah: make-up, bedak rias, foundation, dsb.
  • Produk skin-care dan perawatan kulit: moisturizer, produk/serum anti-aging,  produk/serum antikeriput, tabir surya, cleanser, sabun mandi, deodoran, krim cukur, dsb.
  • Produk rambut: sampo, conditioner, cat rambut, masker dan serum, dsb.
  • Produk bibir: lipstik, lip gloss, lip balm, lip liner, dsb.
  • Produk kuku: cat kuku, pembersih cat kuku, cuticle cream, coating, dsb.
  • Perawat mulut: pasta gigi, mouth wash, breath mints/strips, dsb.
  • Produk lainnya: deterjen, softener, pewangi pakaian, cairan pembersih rumah tangga, dsb.

Produk obat-obatan yang dilaporkan dapat mengandung paraben:

  • Obat-obatan topikal: krim kortikosteroid, krim antibiotik, krim akne dan rosasea, dsb.
  • Beragam obat-obatan oral juga ditemukan mengandung zat methyl, propyl, dan butylparaben.

Produk makanan care yang dilaporkan dapat mengandung paraben:

  • Produk dairy: susu, keju, yogurt, mentega, dsb.
  • Produk daging dan ayam kemasan
  • Produk ikan dan seafood lainnya
  • Produk pengganti gula, sirup dan zat perisa
  • Produk sayur dan buah yang telah diolah, jus buah/sayur
  • Berbagai produk minyak
  • Minuman beralkohol
  • Beberapa jenis baked goods (roti, kue yang dipanggang)
  • Sereal dan snack kemasan
  • Puding dan makanan dengan gelatin
  • Produk selai buah dan saos (tomat, mayonaise, dsb.)
  • Dsb.

METABOLISME PARABEN DALAM TUBUH

Dalam tubuh, paraben dapat diserap melalui saluran pencernaan atau sebagian kecil melalui kulit. Paraben yang diserap kulit dimetabolisme oleh enzim keratinocyte carboxylesterase. Penyerapan paraben melalui kulit dilaporkan secara signfikan lebih rendah dibandingkan melalui saluran cerna. Setelah diserap, zat paraben akan terhidrolisa menjadi p-hydroxybenzoic acid, melalui beberapa tahap konjugasi, lalu dikeluarkan oleh ginjal melalui urin/oleh sistem bilier melalui cairan empedu. 

Hingga saat ini belum ada bukti pasti bahwa zat paraben dapat mengendap secara kumulatif dalam jaringan tubuh dan organ. Kekhawatiran utama akan paraben muncul pada tahun 2004 setelah sebuah studi menemukan sejumlah zat paraben pada jaringan payudara individu dengan kanker payudara. Beberapa studi lain juga menemukan konsentrasi kecil paraben di cairan mani, atau mencurigai bahwa paraben dapat berinteraksi dengan albumin dan dapat berkumpul di plasma darah. 

Efek samping paraben masih dalam banyak perdebatan, akan tetapi studi ilmiah saat ini belum dapat membuktikan secara pasti adanya dampak merugikan bermakna dari paraben terhadap populasi umum. Data yang melarang paparan paraben pada manusia saat ini belum memadai. Berbagai lembaga pengawas produk masih mengizinkan dan menganggap aman penggunaan paraben. Adapun perdebatan mengenai efek paraben terhadap tubuh kami rangkum sebagai berikut:

A) EFEK PARABEN PADA KULIT

Daya serap paraben oleh kulit saat menggunakan produk topikal relatif kecil dibandingan dengan jumlah yang diserap melalui intake per oral melalui saluran cerna. Penyerapan zat paraben diminimalisir oleh fungsi barrier dan integritas struktur kulit. Terlebih lagi, proses metabolisme paraben oleh ginjal maupun hati cukup efisien, sehingga konsentrasi paraben yang tersisa cukup rendah. 

Penyerapan paraben melalui kulit dapat meningkat pada keadaan tertentu: seperti pada jaringan kulit yang rusak/kurang sehat, atau pada beberapa kondisi kulit khusus (seperti populasi khusus dengan mutasi gen filagrin, yang memiliki skin barrier lebih lemah daripada populasi normal). Cairan pembawa kosmetik seperti aseton dan ethanol juga dilaporkan meningkatkan penyerapan paraben pada kulit. 

Pada jangka pendek maupun jangka panjang, tidak ditemukan efek racun / toksik paraben terhadap kulit. Penggunaan paraben juga tidak menimbulkan iritasi kulit. Beberapa studi yang meneliti efek paraben terhadap ekosistem mikroflora kulit juga belum menemukan dampak yang berarti. Efek paraben terhadap peremajaan kulit (diferensiasi keratinosit), serta hubungannay terhadap fotoproteksi dan sinar UV telah dilakukan, namun untuk saat ini masih terdapat banyak spekulasi.

B) EFEK PARABEN PADA SISTEM ENDOKRIN & HORMONAL

Efek paraben pada sistem endokrin (hormonal) masih belum konsisten.Paraben telah dilaporkan dalam beberapa studi memiliki efek estrogenik. Namun, efek estrogen dari paraben dilaporkan sangat kecil, sehingga terlalu lemah untuk memberikan dampak bermakna. Pada beberapa studi, paraben juga sempat dicurigai punya efek antiandrogen, yang ditakutkan dapat mengganggu pembentukan alat kelamin pria atau kualitas sperma. Namun, hal ini belum terbukti pada studi. Paparan paraben sempat dicurigai dapat menurunkan fertilitas (kesuburan). Penurunan angka sperma & tingkat hormon testosteron setelah konsumsi butylparaben sempat dilaporkan pada studi hewan. Akan tetapi, hal ini belum terbukti pada studi manusia yang telah dilakukan. Hingga saat ini belum ada penelitian yang dapat membuktikan dampak negatif paraben terhadap sistem endokrin manusia secara sistemik

C) KECURIGAAN EFEK KARSINOGENIK

Paraben belum terbukti secara pasti bersifat karsinogenik maupun sitotoksik. Kecurigaan efek karsinogenik dari paraben berasal dari munculnya teori estrogen mimicry (peniruan efek estrogen) dari paraben pada tahun 1998; dimana estrogen sendiri sudah diketahui merupakan salah satu faktor risiko besar dalam kanker, terutama kanker payudara. Pada tahun 2004, studi Darbre dkk. melaporkan ditemukannya ester paraben intak pada beberapa populasi pasien dengan kanker payudara. Hal ini menyebabkan kecurigaan adanya peran paraben pada munculnya kanker payudara, terutama pada produk perawatan seperti deodoran. Akan tetapi, studi lebih lanjut menemukan bahwa paraben juga ditemukan pada individu yang tidak memakai produk-produk yang mengandung paraben. Penelitian lanjut juga menemukan bahwa tingkat paparan paraben sehari-hari (termasuk yang terkandung dalam produk komersil), pada worst-case scenario pun, tidak cukup tinggi untuk dapat berperan dalam menyebakan kanker. 

Selain kanker payudara, beberapa teori juga mempertanyakan keamanan penggunaan paraben pada kulit, serta kecurigaan efek paraben terhadap kanker kulit. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada penelitian yang membuktikan adanya asosiasi paraben dengan kanker kulit. Pada beberapa studi, ditemukan bahwa paraben yang tidak didegradasi oleh enzim kulit secara sempurna dapat berdiam hingga beberapa minggu hingga bulan di kulit; hal ini dicurigai dapat menganggu proses regenerasi sel-sel kulit yang meningkatkan risiko terjadi kanker. Pada studi lain, ada pula hipotesa yang mencurigai adanya efek protektif paraben, menurunkan risiko terjadinya kanker kulit melanoma melalui peran xenoestrogen. Secara keseleruhan, efek paraben pada kanker kulit masih membutuhkan studi lebih lanjut.

Terjadinya kanker merupakan akibat dari berbagai macam mekanisme dan faktor risiko yang saling bergantungan. Ditambah lagi, seorang individu terpapar oleh banyak zat kimia (baik alami maupun komersil) setiap harinya, sehingga sulit untuk menunjuk dengan tepat adanya peran satu atau dua zat saja dalam kejadian kanker. Berdasarkan beberapa studi yang sudah dilakukan, belum dapat disimpulkan adanya peran paraben terhadap kejadian kanker.

D) REAKSI ALERGI TERHADAP PARABEN

Seperti halnya dengan produk kosmetik lain, salah satu kekhawatiran tersering konsumen terhadap paraben adalah risiko timbulnya reaksi alergi.

Studi dengan LLNA (murine local lymph node assay) yang secara umum digunakan untuk uji reaksi alergi menetapkan paraben dengan kategori human antigen kelas 4, yang berarti memiliki risiko sensitisasi (alergi) yang sangat lemah hingga tidak berisiko. Hal ini bahkan lebih rendah daripada mayoritas zat pewangi / fragrance yang digunakan dalam produk kosmetik. Beberapa penelitian bahkan mengklaim paraben sebagai “non-allergen of the year”. Dari laporan berbagai studi & sample database juga telah disimpulkan bahwa tingkat kejadian reaksi alergi akibat  produk yang mengandung paraben sangat rendah, sekitar kurang dari 1-4% pengguna. Hal ini belum menyingkirkan kemungkinan alergi akibat senyawa lain dalam produk tersebut selain paraben. 

Reaksi alergi yang seringkali timbul berupa dermatitis kontak, eczema, dermatitis palmoplantar/dishidrotik, atau reaksi alergi sistemik seperti angiodema. Gejala yang dapat timbul antara lain:

  • Kulit kemerahan yang gatal atau nyeri
  • Kulit menjadi kering bersisik
  • Muncul bisul atau lepuh pada kulit
  • Bengkak pada kulit, kelopak mata, wajah, atau daerah lain
  • Reaksi mengancam nyawa seperti sesak (bronkospasme) dilaporkan sangat jarang terjadi

Apabila hal ini terjadi pada anda, segera konsultasikan dengan dokter umum, dokter estetik, atau dokter spesialis kulit & kelamin terdekat. Risiko alergi paraben juga dapat diperiksa lebih lanjut dengan pemeriksaan patch test.

E) PENGGUNAAN PARABEN PADA IBU HAMIL

Efek toksisitas paraben pada ibu hamil belum diteliti secara detail. Walaupun studi telah dimulai oleh beberapa pihak, belum ada kesimpulan secara pasti. Beberapa studi telah melaporkan beberapa jenis paraben (terutama methylparaben dan butylparaben) dapat menembus placenta dalam jumlah yang kecil. Hal yang sama juga ditemukan dengan jumlah yang kecil pada ASI. Paraben dicurigai dapat mempengaruhi fungsi steroidogenesis pada janin, yang dapat menganggu perkembangan terutama pada pada janin laki-laki. Hal ini juga dapat berkontribusi pada kejadiaan obesitas pada usia muda. Beberapa efek samping lain yang dicurigai dapat terjadi pada janin antara lain: risiko terjadinya asma/mengi, berat badan lahir rendah, persalinan dini, hingga keguguran. Akan tetapi, hasil studi tersebut belum dapat dibuktikan secara pasti. Adapun studi tersebut, menyimpulkan efek negatif paraben lebih berisiko timbul bila terpapar pada trimester pertama.

CROSS-REACTIVITY PARABEN DENGAN P-PHENYLENEDIAMINE

  • Beberapa studi melaporkan adanya reaksi silang (cross-reactivity) paraben dengan zat p-Phenylenediamine. Pasien dengan alergi terhadap paraben memiliki 3.1-3.4 kali peningkatan risiko alergi terhada p-Phenylenediamine, dan sebaliknya. p-Phenylenediamine dapat ditemukan sebagai bahan benda karet dan plastik, atau pada beberapa jenis tinta, cat rambut, atau henna.
ADAKAH ALTERNATIF PARABEN?
  • Sampai saat ini belum ada alternatif zat pengawet sintetis yang lebih menguntungkan dari paraben, dari segi keamanan maupun cost-effectiveness. Terdapat banyak zat pengawet alternatif yang dapat digunakan selain paraben, seperti: quaternium-15, imidazolidinyl urea, diazolidinyl urea and dimethyloldimethyl hydantoin, atau formaldehyde. Akan tetapi, zat-zat pengawet tersebut lebih sering menimbulkan efek samping dan reaksi alergi. Bahkan formaldehyde (atau formalin) telah dilaporkan memiliki efek kausatif langsung dengan kejadian kanker. 
  • Opsi lain adalah penggunaan zat pengawet alami, seperti cinnamaldehyde, allyl isothiocyanate, citric acid, ascorbic acid, rosemary extract, namun tingkat keberhasilannya dalam mencegah pertumbuhan kuman masih rendah.
  • Selain penambahan zat pengawet, kualitas produk juga dapat dijaga melalui design seperti airless packaging atau packaging lain yang menggunakan teknologi modern. Kerugian dari hal ini adalah biaya produksi yang mahal sehingga produk sulit bersaing secara komersil. Refrigerated cosmetics yang mewajibkan produk dijaga di suhu dingin juga menambah biaya dan kerja logistik.

EFEK PARABEN TERHADAP LINGKUNGAN

  • Paraban dapat diuraikan oleh beberapa enzim alami yang ada di lingkungan, sehingga bersifat biodegradable
  • Paraben yang ditemukan di lingkungan tidak semuanya berasal dari jejak manusia atau industri; beberapa jenis paraben juga dapat diproduksi secara alami oleh buah, sayur, tumbuhan dan mikro-organisme di lingkungan.
  • Saat ini, sebanyak 96.1-99.9% zat paraben yang ditemukan di limbah air dapat diproses dan dihilangkan oleh teknologi pengolahan limbah.
  • Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengamati dampak paraben terhadap makhluk hidup, dan ditemukan adanya tingkat toksisitas rendah paraben terhadap beberapa jenis ganggang laut dan ikan. 
  • Akan tetapi, sejauh ini belum ada penelitian yang menyimpulkan adanya dampak merugikan bermakna paraben terhadap lingkungan.
Source
  1. Mowad CM. Parabens – A common allergen with lots of hype and no real harm. Dermatology World Insights and Inquiries. 2019;1(26).
  2. Fransway AF, Fransway PJ, Belsito DV, et al. Parabens. Dermatitis. 2019;30(1):3‐31. 
  3. Fransway AF, Fransway PJ, Belsito DV, Yiannias JA. Paraben Toxicology. Dermatitis. 2019;30(1):32‐45.
  4. Kirchhof MG, de Gannes GC. The health controversies of parabens. Skin Therapy Lett. 2013;18(2):5‐7.
  5. Nowak K, Ratajczak-Wrona W, Górska M, Jabłońska E. Parabens and their effects on the endocrine system. Mol Cell Endocrinol. 2018;474:238‐251. 
  6. Bergfeld WF, Belsito DV, Marks Jr JG, Andersen FA. Safety of ingredients used in cosmetics. JAAD. 2004;52(1):125-32.
  7. Hafeez F, Maibach H. An overview of parabens and allergic contact dermatitis. Skin Therapy Lett. 2013;18(5):5‐7.
  8. Msagati TA, Barri T, Larsson N, Jönsson JA. Analysis and quantification of parabens in cosmetic products by utilizing hollow fibre-supported liquid membrane and high performance liquid chromatography with ultraviolet detection. Int J Cosmet Sci. 2008;30(4):297‐307.